Tentang Periuk di Atas Bukit
Laporan dari Guru Pegiat Sosial
Merasa benar-benar menjadi seorang guru sekaligus pegiat sosial. Setelah melalui petualangan berharga hari ini. Mendaki gunung, melewati lembah, bercengkrama dengan jalan setapak miring nan terjal. Menyusuri semak belukar berair licin. Wow ... lengkaplah sudah...
Berseteru dengan cuitan mesra kriuk-kriuk si perut. Melenggang meloncati anak sungai yang jernih. Mungkin kalau tak kuat iman sudah kuminum untuk membasahi kerongkongan yang mulai mengering.Berjalan kaki karena melewati jalan setapak dan licin
Melewati semak belukar, berliku dan terjal
Sebungkus beras yang kubawa untuk nenek tua itu kujinjing bersama peluh yang mulai membasahi jilbab dan wajahku.
Tibalah kami di sebuah rumah reot yang hampir roboh. Di sebelahnya ada sebuah kamar, pintunya rusak, hanya ditutup oleh sebuah tikar plastik yang sudah usang. Ada sebuah ranjang kayu tua, selimut yang di sekitarnya berbaur dengan bahan makanan dan beberapa alat dapur.
Belum selesai kutengok adakah kamar mandinya? Di belakang rumah reot itu, ada sebuah periuk tua berisi air yang sudah bercampur air hujan, tanpa atap tanpa pembatas.
Alat mandi si nenek yang ada di belakang rumahnya
Sayangnya penantian kami selama setengah jam tk membuahkan hasil. Entah ke mana nenek tua yang kami nanti. Kami memutuskan untuk turun bukit dan tiba ditempat penitipan sepeda motor kami. Degup jantung di atas rata-rata memaksa kami untuk berbaring sejenak di teras rumah warga.
Periuk tua adalah pelajaran berharga seolah menegurku agar terus bersyukur. Dan semangat berbagi, melangkah menuju orang-urang yang mungkin bisa menjadi ladang amal kita. Karena senyum bahagia mereka adalah percikan cahaya yang menyentuh kebahagiaan yang tak ternilai bagi pemberi yang ikhlas.
Thank you @ Bu Yuli @ Bu Rofa dan Novi for the grateful experience today . (Bu Dewi
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar